“Apa
manfaat praktis yang bisa saya dapatkan dari belajar sastra?”
Itu
adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu kawan yang bersama saya dan
beberapa teman lainnya membuat kelompok belajar sastra di Sumbawa. Meski ia
mengikuti kelompok ini dengan sukarela, ia sendiri bukanlah penggemar sastra.
Ia hanya merasa ingin menulis. Itu saja. Maka ia pun bergabung. Tidak ada tutor
atau sebutlah satu saja penulis ataupun sastrawan mumpuni dalam kelompok ini.
Tapi karena sayalah yang berinisiatif memulainya, saya merasa sayalah yang bertanggungjawab
menjawabnya.
Mari
lewati saja jawaban saya saat itu. Kali ini saya ingin mengajak pembaca semua
memikirkan ini bersama-sama. Apa manfaat praktis yang bisa kita dapatkan dari
belajar atau membaca sastra? Pertama, saya pikir akan ada yang nyinyir
beranggapan bahwa si penanya adalah manusia yang selalu melihat segala hal dari
kebermanfaatan pada dirinya. Tapi, ayolah, kejujuran pertanyaan tersebut justru
adalah cerminan masyarakat kita sekarang. Akan menyusul banyak orang lain lagi
yang akan menanyakan ini atau paling tidak, menyimpannya dalam hati. Maka tidak
ada gunanya menghindari pertanyaan ini sekarang.
Saya
memutar ulang masa-masa dalam hidup saya. Berusaha mencari satu saja peristiwa
dimana apa yang ada dalam buku-buku fiksi itu saya terapkan. Ambil contoh, saya
sedang membaca The White Tiger karangan Aravind Adiga. Setelah membaca buku
itu, toh saya tidak menjadi sebegitu amat menertawakan dunia. Atau mencari
keuntungan dari membunuh orang lain. Ujug-ujug, paling saya hanya mengikuti gaya
tertawanya saja. Ha!
Betapa
meruginya saya jika saya membaca buku itu hanya untuk berusaha mencari
ajaran-ajaran yang ada di dalamnya yang bisa saya terapkan langsung. Tapi jika
membaca buku hanya murni untuk menemukan kesenangan juga mestinya tak elok
pula. Apalagi hanya untuk sekedar memahami gaya menulisnya. Tapi, itulah
menurutku kelebihan dari membaca buku. Tidak ada “hanya sekedar untuk”. Kita membaca
tidak hanya sekedar untuk bersenang-senang karena menemukan keluasan imajinasi
di dalamnya, tapi alam bawah sadar kita juga secara bersamaan merekam
ajaran-ajaran halus dari apa yang kita baca. Dan secara tak sengaja tercerna
pula cara menulisnya.
Membaca
karya sastra tentu akan berbeda jauh dari membaca buku-buku resep, misalnya. Buku
resep menjelaskan detail apa-apa yang harus dilakukan. Tapi sastra tidak
demikian. Alih-alih ingin membuat karya yang disengaja untuk menceramahi para
pembaca untuk melakukan ini-itu, aku sering beranggapan bahwa para penulis itu
menulis untuk dirinya sendiri. Menuangkan kegelisahan-kegelisahannya dan
menaruh sebagian kepribadiannya yang sudah sesak dalam badannya (aku punya ide
gila bahwa hampir semua sastrawan itu pengidap multipolar, lebih parah dari bipolar).
Syukur bila karya itu akhirnya menemui pembaca yang memiliki kegelisahan sama.
Pada
akhirnya, membaca sastra ingin aku sandingkan dengan mendengarkan musik. Nikmati
saja. Meski kamu tidak sadar betapa itu pada akhirnya akan memperluas kosa-katamu,
memperluas wawasanmu, memperhalus perasaanmu, dan tentu bonus bisa merayu sang
pacar (atau mantan).
0 comments:
Post a Comment